Tetes-tetes
air hujan yang semula turun secara halus dan perlahan, lama kelamaan menjadi
semakin deras. Namun, anak laki-laki itu tak menghiraukannya dengan tetap
berjalan cepat menuju lobby rumah sakit. Dalam keadaan basah, ia menyusuri koridor
demi koridor di rumah sakit, mencari-cari sebuah kamar inap seseorang.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari nomor kamar yang di tuju. Begitu
ia menemukannya, tanpa ragu ia buka pintu kamar tersebut.
Seorang
wanita separuh baya yang tengah duduk di sofa yang terletak di dekat pintu,
langsung bangun dari duduknya begitu melihat sosok si anak laki-laki tadi
membuka pintu. Anak laki-laki itupun segera masuk ke dalam ruangan itu, dan
menghampiri wanita tadi.
“Ma,”
sapanya sambil mencium tangan wanita itu dan wanita itu mengelus-elus dengan
lembut kepala anak laki-laki tadi; Adrian.
Sesaat
setelah itu, Adrian menoleh ke arah sebuah tempat tidur yang tengah terbaring
lemah seorang anak perempuan di atasnya. Adrian melepaskan tas yang sedari tadi
di panggungnya dan meletakkannya di atas sofa, dan perlahan ia berjalan menuju
ke tepi ranjang tersebut. Anak perempuan yang sedang tertidur pulas dengan
keadaan lemah itu adalah anak wanita yang tadi ia cium tangannya. Anak
perempuan itu adalah sahabatnya; Arlena.
Rasanya
ribuan belati dilemparkan tepat di jantung Rian begitu ia mendapati kabar bahwa
Lena dirawat di rumah sakit. Tanpa basa basi, Rian rela meninggalkan kampusnya
dan tak mengikuti mata kuliah demi melihat keadaan Lena yang sudah lama sekali
tak ditemuinya apalagi dihubunginya. Rasa rindu yang tak terbendung lagi kini
berubah menjadi rasa cemas bercampur takut yang luar biasa.
Rian
menatap nanar sahabatnya itu begitu ia berada tepat di tepi ranjang yang
ditiduri Lena. Tangannya menyusuri pipi Lena yang saat itu tak bersemu merah
seperti saat Lena dalam keadaan sehat. Kantung mata Lena terlihat sedikit
hitam, meskipun ia sedang terpejam. Entah mata itu sering kekurangan istirahat,
ataupun karna terlalu banyak menangis. Yang pasti, hanya ada satu gambaran
tentang Lena saat itu; pucat. Dan lagi-lagi Rian harus merasakan sesak di dadanya
ketika melihat kondisi Lena yang tak seperti biasanya.
“Yan,”
Rian
segera menoleh ke arah ibunda Lena yang baru saja memanggil namanya.
“Mama
mau ke apotek dulu, ya. Tolong kamu jaga Lena sebentar.”
Rian
mengangguk pelan dan segera duduk di sisi tempat tidur Lena, begitu Ibunda Lena
pergi meninggalkan ruangan itu.
Di
genggamnya dengan erat tangan Lena, seakan ia mentransferkan sebagian
kehangatan tubuhnya kepada tangan Lena yang dingin, dan juga seakan
mentransferkan sebagian kekuatan dalam dirinya untuk membuat Arlena sembuh
seperti sedia kala.
“Kamu
kenapa, Lena? Apa yang kamu lakukan?” bisiknya dengan pelan. Rian mengerutkan
dahinya, memejamkan matanya, menghembuskan nafas sambil berpikir keras kenapa
sahabatnya bisa sebodoh itu mencelakakan dirinya sendiri demi seseorang yang
sampai detik inipun tak muncul batang hidungnya. Entah dia yang brengsek, atau aku yang bodoh karena tak menjagamu
dengan baik, maki Rian dalam hati, sambil menahan air matanya agar tidak
jatuh.
Dua
bulan yang lalu, Rian memutuskan untuk pergi menjauh dari Lena begitu ia
mengetahui bahwa saat itu Lena telah menemukan seorang kekasih yang nampaknya
bisa membuatnya bahagia lebih daripada saat Lena bersamanya. Walau begitu,
bukan berarti Rian berhenti mengawasi Lena dari jauh. Ia tetap mecari tau kabar
tentang Lena secara diam-diam tanpa sedikitpun mencoba menghubungi Lena secara
langsung. Bersamaan dengan itu, sebenarnya Rian menahan rasa sakit yang semakin
hari semakin menyiksa dengan melihat kemesraan Lena dengan kekasih barunya yang
semakin hari semakin lengket. Dan lagi-lagi, gengsi tak pernah tunduk. Rian
memilih mengabaikan rasa sakitnya itu sambil tetap melihat Lena dari kejauhan
dan tak pernah benar-benar pergi.
Kita
tak pernah tahu kepada siapa takdir itu berpihak. Dan ternyata, kali ini takdir
berpihak kepada Rian. Tuhan memisahkan Lena dan kekasih barunya itu dengan
pelan-pelan menunjukkan kebusukan kekasih Lena, yang suka bermain belakang
alias selingkuh. Sayangnya, Lena sudah terlalu diperbudak oleh perasaannya
sendiri sehingga membuatnya bodoh. Lena mencelakakan dirinya sendiri demi
laki-laki yang sangat jago dalam bersandiwara, yang bertingkah sangat manis
padahal tak pernah sedikipun perduli kepada pengorbanan Lena ataupun perasaan
Lena untuknya, sampai akhirnya ia harus terbaring tak berdaya di rumah sakit
saat ini.
Begitu
Lena terjatuh, dengan sigap Rian menangkapnya. Bukan untuk pertama kalinya,
tapi untuk kesekian kalinya. Rian tak pernah mengerti arti kesakitan yang
dirasakannya begitu ia melihat Lena bahagia dengan laki-laki lain. Rian juga
tak pernah mengerti arti kemarahannya begitu ia melihat Lena di sakiti dan Rian
tak pernah mengerti pula arti mengapa ia terus berada disana untuk menangkap
Lena kapanpun ia terjatuh dan bersedia mengobati luka hati Lena dengan terus
menemaninya. Rian dan Lena bersahabat, tapi apa benar ini hanya sekedar
persahabatan tanpa ada landasan rasa yang lain?
Tak
sadar, air mata meluncur di pipi Rian. Ia segera membuka matanya dan mengusap
pipinya yang kini basah itu.
“ Kamu
nangis?” tanya Lena yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.
Rian
terkesiap begitu menyadari bahwa Lena sudah bangun dan memperhatikannya.
“Kamu
kenapa, Yan?” tanya Lena lagi.
“Kamu
yang kenapa?” balas Rian dengan menatap Lena dengan lembut.
"Kamu nggak kuliah?"
"Cabut."
"Gila."
"Tapi nggak pernah lebih gila dari kamu yang mencelakakan diri kamu karna seorang cowok."
"Kenapa cabut? Kamu tau dari mana aku masuk rumah sakit?"
"Kamu nanya kenapa? Ya jelas karna aku khawatir sama kamu, dan kebetulan kita udah lama banget nggak ketemu. Mama nelfon aku tadi pagi."
Lena
tersenyum kecil kemudian bertanya lagi, “Aries nggak kesini, ya?”
“Kalau
kamu ngelakuin hal ini demi menarik perhatian Aries supaya dia dateng kesini,
aku harus bilang kalau usaha kamu gagal total. Sorry to say but dia nggak
pernah perduli sama kamu, Lena.”
“Justru
aku takut kalau dia kesini,”
“Takut?
Takut kenapa?”
“Aku
takut nanti aku nangis dan makin nggak bisa ngelepas dia. Dan aku takut... Aku
takut dia akan mukulin kamu. Kamu tau kan, dia cemburu banget sama kamu?
Padahal kita nggak pernah kontak sedikitpun waktu aku pacaran sama dia,”
“Orang
yang selingkuh akan selalu mencari sesuatu untuk di kambing hitamkan.”
“Kenapa
ya, dia benci sama kamu?”
“Well,
jealousy? Jelas bukan. Kamu tau kan, dia itu orang asing, orang baru. Dia nggak
pernah ada di lingkungan kita dari pertama kali kita kenal. Jelas dia akan
merasa bingung ketika melihat foto kita berdua banyak di handphone kamu,
meskipun kita nggak pernah kontak. Mau dijelaskan sedetail apapun, dia nggak
akan segampang itu percaya. Mungkin menurut kita, kedekatan kita biasa aja. Ya karena kita yang ngalamin dan itu sudut pandang kita, bukan sudut pandang orang lain. Aku tau rasanya gimana seandainya aku ada di posisi
dia, dan aku pasti akan mempertanyakan banyak hal. Makanya aku nggak pernah
coba hubungin kamu. Aku lihat kamu bahagia banget sama dia, dan aku nggak ingin
merusak kebahagiaan kamu itu. Yang penting kamu bahagia, hanya itu. Karna aku
pasti secara otomatis akan ikut bahagia.”
Lena
menatap Rian dalam-dalam, tak mampu mendefinisikan maksud Rian berbicara
seperti itu. “Aku? Bahagia? Not a day goes by that I’m not thinking about you,
Yan. I really wanna share my happiness with you, but you weren’t there. Dan
lama kelamaan, ketidak hadiran kamu membuat aku sadar kalau dia beda sama kamu.
Dan aku mulai mebanding-bandingkan dia sama kamu. Ya, aku yang salah.”
“Dia
juga salah. Kenapa dia harus selingkuh? Kenapa dia harus ninggalin kamu dengan
cara paling pengecut seperti ini? He’s not good enough, intinya itu. Bilangnya
cinta, tapi belum ada dua minggu putus sama kamu, dia sudah punya pacar baru.”
Rian
menggelengkan kepalanya dan raut wajahnya berubah perlahan menjadi raut wajah
yang sedang menahan emosi yang siap meledak di atas kepala. Lena segera bangkit
dari tidurnya dan memeluk Rian. Rian terkejut namun perlahan hanyut dalam
pelukan itu, pelukan yang sangat dirindukannya.
“I’m
glad you’re here. I’m glad to know that it’s always been you, who understands
me like we’ve known each other for a life time.”
Jika tugasku dalam hidup yang diberikan
Tuhan ini untuk membuat kamu bahagia, maka aku nggak akan pernah mau pensiun
dari tugasku ini, ujar Rian dalam hati.
“Sekarang
aku tau arti kehadiran Aries kemarin. Sekarang aku tau kenapa kita lebih baik
seperti ini, karena semua orang yang pacaran kemudian pisah, nggak pernah bisa
berhubungan dengan baik seperti sedia kala. Kamu benar, Yan.” tambah Lena
sambil melepaskan pelukannya dan tersenyum ke arah Rian.
Rian
membisu begitu mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Lena. Ia berharap ia
bisa kembali ke hari dimana ia mengatakan hal itu kepada Lena dan menarik
ucapannya itu...