Saturday, June 28, 2014

A letter to Romeo

I look into your eyes that night, and saw something different. At first, I might think I was wrong. But suddenly, time seems sense the same thing. It's not even the eyes I used to love and drown myself into them. You're not even there, honey. And started from that night, I was wondering why...

I guess your love for me is fading, honey... And those fights might be the reason. Don't ask me how can I think about that, because I feel it. It was killing me day by day to know that yours are cracked while mine are growing. I'm definitely will be dead if this is going to be the end...

Honey, all I have been doing is trying to care about you. Believe me, I always try my best for you. But if it's too much and bothering you, I'm sorry because I didn't mean to...
Those jealousy... Those jealousy is the way I'm showing that I really love you and I'm freaking out about the thought of you would find someone else new, and also better than me, whenever we're apart.. I'm freaking out about the thought of losing you... But if it seems too possesive, I'm sorry because I didn't mean to...

You're the one and only for me, honey... So I'm trying my best to keep you by my side. I'm trying to keep what we've built together since the first time we decided to. You knew that this is the love that I've been waiting for so long. And I hope you still remember about our promise to be together in the name of forever. So I'm willing to defend everything that's ours 'til the end. But don't you know, honey? I can not be the only one who fight if you don't even want to be fought anymore... It hurts me deeper to know that you won't look at me in the same way like you did before because your love might be already gone...

Honey, if this is only a dream, I don't know if I should thank God or cry, because if it's only a dream, well, I don't have to lose you in reality. But, if it's also only a dream, well, this is a nightmare to me.
Honey, please come back home. I miss those tight hugs and goodnight kiss from you...
Tell me that we're still in love, and forever be in love...
I love you that the universe can't tell you how much...





Yours,


Juliet


Sunday, December 15, 2013


               
(Tekan tombol play lagu dan mulai membaca saat musisi mulai menyanyi)


                
                Aku sedang mencintai seorang pria. Dia tidak bisa dibilang pria idamanku, tapi aku tahu; dia yang aku inginkan.
                Pria ini mungkin sampai detik ini tak pernah tahu bahwa dia sedang dicintai sebegitu besarnya oleh seorang wanita biasa, yang tak sempurna, namun sebisa mungkin selalu ada didekatnya bila pria ini membutuhkannya.
                Pria yang ku dambakan setengah mati ini adalah kamu. Ya, kamu. Kamu yang sedang membaca sekaligus menjadi tujuan surat ini.
                Aku memang tidak secantik wanita-wanita yang mampu mencuri perhatianmu dan mengalihkan pandanganmu.
                Aku memang tidak secerdas wanita-wanita yang mampu membuatmu hanyut dalam setiap topik pembicaraan yang diambilnya.
                Aku memang bukan wanita yang kamu dambakan untuk mendampingi kamu. Mendekati kriteriamu saja, tidak.
                Tapi....... Aku begitu mengenalmu.
                Tapi aku tahu benar setiap tutur kata yang kamu gunakan serta gayamu dalam berbicara.
                Aku tahu benar hal-hal yang kamu sukai dan tidak kamu sukai.
                Aku tahu benar bagaimana sifatmu dan setiap kebiasaanmu.
                Namun, mengenal dan mengetahuimu sedalam ini pun tidak cukup, bukan?
                Aku ini.... Bukan siapa-siapa. Hanya seorang teman. Lebih tepatnya, seorang teman yang lancang.
                Maafkan aku bila selama ini, diam-diam aku sibuk memperhatikan Maha Karya sempurna Tuhan yang di anugerahkan kepada fisikmu, setiap kali kamu sedang bercerita.
                Maafkan bila selama ini, aku sering menguntit akun jejaring sosialmu, karna aku terlalu takut untuk bertanya langsung kepadamu tentang kabarmu.
                Aku terus menyakiti diriku sendiri dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini.
                Aku terus mengorbankan segala sesuatu yang aku punya demi kamu. Walau aku tahu, kamu tidak pernah tahu atau mungkin tidak perduli dengan setiap hal yang aku lakukan untuk kamu. Apalagi melakukan hal yang sama.
                Tak apa, karna kita berdua sama-sama tahu bahwa aku akan selalu berujung mencintaimu lagi, bahkan semakin besar.
                Entah kenapa, rasanya telingaku enggan menjadi tuli dengan setiap cerita cintamu.
                Bibirku enggan membisu bila kamu mengajakku berbicara.
                Mataku enggan berpaling dari tatapan hangatmu dan senyum manismu itu.
                Dan kakiku enggan melangkah untuk keluar dari hidupmu, apalagi jika kita harus mengingat kembali semua kejadian yang sudah kita lewati bersama. Karena sejujurnya, bagian terbaik diriku muncul ketika aku sedang bersamamu.
                Maafkan aku jika dengan membaca surat inipun sudah cukup menyita waktumu.
                Tapi bersama dengan berakhirnya surat ini, aku ingin mengucap salam perpisahan.
                Bukan, bukan karna aku membencimu. Aku hanya.... Aku hanya sudah terlalu letih tersiksa dan diperbudak oleh perasaanku sendiri.
                Aku sudah terlalu lelah karena merindukan kamu setiap malam, meskipun kamu tak pernah memintanya.
                Aku sudah terlalu rapuh untuk bangkit dan tersenyum bahagia demi kamu, setiap kali aku tahu kamu sedang jatuh cinta dengan orang lain.
                Aku sudah tak mampu lagi menitikkan air mata demi kamu, karna rasanya aku sudah terlalu terluka dan mati rasa setiap kali kamu menyakitiku meskipun aku tahu kamu tidak bermaksud melakukannya.
                Aku hanya sudah merasa benar-benar putus asa akan kesempatan untuk menjadi milikmu satu-satunya.
                Tapi jangan pernah berpikir bahwa kalimat-kalimat dalam surat ini menghujammu seakan-akan ini semua adalah salahmu. Tolong, jangan pernah berpikir seperti itu.
                Salahkan sajalah aku yang sudah berani mencintaimu dan berharap kamu melakukan hal yang sama.
                Salahkan sajalah aku yang menyalah artikan semuanya.
                Salahkan sajalah aku yang sudah terlalu mengganggu hidupmu.
                Sekali lagi, maafkan aku atas semua kesalahanku ini.
                Tapi ketahuilah, semua ini hanya soal rasa. Rasa cintaku yang besar untukmu...
                Selamat berjuang mencari cinta sejatimu, Sayang. Tetaplah percaya akan adanya cinta sejati itu. Aku akan tetap mendukungmu dari sini.
                Terima kasih sudah menjadi alasanku tersenyum, terima kasih sudah menjadi bara api semangatku, dan terima kasih atas semua kebersamaan kita selama ini :)
               







Tertanda,


Wanita yang tak pernah kau pilih


Monday, November 25, 2013

Another Untitled Story

                Tetes-tetes air hujan yang semula turun secara halus dan perlahan, lama kelamaan menjadi semakin deras. Namun, anak laki-laki itu tak menghiraukannya dengan tetap berjalan cepat menuju lobby rumah sakit. Dalam keadaan basah, ia menyusuri koridor demi koridor di rumah sakit, mencari-cari sebuah kamar inap seseorang. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari nomor kamar yang di tuju. Begitu ia menemukannya, tanpa ragu ia buka pintu kamar tersebut.
                Seorang wanita separuh baya yang tengah duduk di sofa yang terletak di dekat pintu, langsung bangun dari duduknya begitu melihat sosok si anak laki-laki tadi membuka pintu. Anak laki-laki itupun segera masuk ke dalam ruangan itu, dan menghampiri wanita tadi.
                “Ma,” sapanya sambil mencium tangan wanita itu dan wanita itu mengelus-elus dengan lembut kepala anak laki-laki tadi; Adrian.
                Sesaat setelah itu, Adrian menoleh ke arah sebuah tempat tidur yang tengah terbaring lemah seorang anak perempuan di atasnya. Adrian melepaskan tas yang sedari tadi di panggungnya dan meletakkannya di atas sofa, dan perlahan ia berjalan menuju ke tepi ranjang tersebut. Anak perempuan yang sedang tertidur pulas dengan keadaan lemah itu adalah anak wanita yang tadi ia cium tangannya. Anak perempuan itu adalah sahabatnya; Arlena.
                Rasanya ribuan belati dilemparkan tepat di jantung Rian begitu ia mendapati kabar bahwa Lena dirawat di rumah sakit. Tanpa basa basi, Rian rela meninggalkan kampusnya dan tak mengikuti mata kuliah demi melihat keadaan Lena yang sudah lama sekali tak ditemuinya apalagi dihubunginya. Rasa rindu yang tak terbendung lagi kini berubah menjadi rasa cemas bercampur takut yang luar biasa.
                Rian menatap nanar sahabatnya itu begitu ia berada tepat di tepi ranjang yang ditiduri Lena. Tangannya menyusuri pipi Lena yang saat itu tak bersemu merah seperti saat Lena dalam keadaan sehat. Kantung mata Lena terlihat sedikit hitam, meskipun ia sedang terpejam. Entah mata itu sering kekurangan istirahat, ataupun karna terlalu banyak menangis. Yang pasti, hanya ada satu gambaran tentang Lena saat itu; pucat. Dan lagi-lagi Rian harus merasakan sesak di dadanya ketika melihat kondisi Lena yang tak seperti biasanya.
                “Yan,”
                Rian segera menoleh ke arah ibunda Lena yang baru saja memanggil namanya.
                “Mama mau ke apotek dulu, ya. Tolong kamu jaga Lena sebentar.”
                Rian mengangguk pelan dan segera duduk di sisi tempat tidur Lena, begitu Ibunda Lena pergi meninggalkan ruangan itu.
                Di genggamnya dengan erat tangan Lena, seakan ia mentransferkan sebagian kehangatan tubuhnya kepada tangan Lena yang dingin, dan juga seakan mentransferkan sebagian kekuatan dalam dirinya untuk membuat Arlena sembuh seperti sedia kala.
                “Kamu kenapa, Lena? Apa yang kamu lakukan?” bisiknya dengan pelan. Rian mengerutkan dahinya, memejamkan matanya, menghembuskan nafas sambil berpikir keras kenapa sahabatnya bisa sebodoh itu mencelakakan dirinya sendiri demi seseorang yang sampai detik inipun tak muncul batang hidungnya. Entah dia yang brengsek, atau aku yang bodoh karena tak menjagamu dengan baik, maki Rian dalam hati, sambil menahan air matanya agar tidak jatuh.
                Dua bulan yang lalu, Rian memutuskan untuk pergi menjauh dari Lena begitu ia mengetahui bahwa saat itu Lena telah menemukan seorang kekasih yang nampaknya bisa membuatnya bahagia lebih daripada saat Lena bersamanya. Walau begitu, bukan berarti Rian berhenti mengawasi Lena dari jauh. Ia tetap mecari tau kabar tentang Lena secara diam-diam tanpa sedikitpun mencoba menghubungi Lena secara langsung. Bersamaan dengan itu, sebenarnya Rian menahan rasa sakit yang semakin hari semakin menyiksa dengan melihat kemesraan Lena dengan kekasih barunya yang semakin hari semakin lengket. Dan lagi-lagi, gengsi tak pernah tunduk. Rian memilih mengabaikan rasa sakitnya itu sambil tetap melihat Lena dari kejauhan dan tak pernah benar-benar pergi.
                Kita tak pernah tahu kepada siapa takdir itu berpihak. Dan ternyata, kali ini takdir berpihak kepada Rian. Tuhan memisahkan Lena dan kekasih barunya itu dengan pelan-pelan menunjukkan kebusukan kekasih Lena, yang suka bermain belakang alias selingkuh. Sayangnya, Lena sudah terlalu diperbudak oleh perasaannya sendiri sehingga membuatnya bodoh. Lena mencelakakan dirinya sendiri demi laki-laki yang sangat jago dalam bersandiwara, yang bertingkah sangat manis padahal tak pernah sedikipun perduli kepada pengorbanan Lena ataupun perasaan Lena untuknya, sampai akhirnya ia harus terbaring tak berdaya di rumah sakit saat ini.
                Begitu Lena terjatuh, dengan sigap Rian menangkapnya. Bukan untuk pertama kalinya, tapi untuk kesekian kalinya. Rian tak pernah mengerti arti kesakitan yang dirasakannya begitu ia melihat Lena bahagia dengan laki-laki lain. Rian juga tak pernah mengerti arti kemarahannya begitu ia melihat Lena di sakiti dan Rian tak pernah mengerti pula arti mengapa ia terus berada disana untuk menangkap Lena kapanpun ia terjatuh dan bersedia mengobati luka hati Lena dengan terus menemaninya. Rian dan Lena bersahabat, tapi apa benar ini hanya sekedar persahabatan tanpa ada landasan rasa yang lain?
                Tak sadar, air mata meluncur di pipi Rian. Ia segera membuka matanya dan mengusap pipinya yang kini basah itu.
                “ Kamu nangis?” tanya Lena yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.
                Rian terkesiap begitu menyadari bahwa Lena sudah bangun dan memperhatikannya.
                “Kamu kenapa, Yan?” tanya Lena lagi.
                “Kamu yang kenapa?” balas Rian dengan menatap Lena dengan lembut.
                "Kamu nggak kuliah?"
                "Cabut."
                "Gila."
                "Tapi nggak pernah lebih gila dari kamu yang mencelakakan diri kamu karna seorang cowok."
                "Kenapa cabut? Kamu tau dari mana aku masuk rumah sakit?"
                "Kamu nanya kenapa? Ya jelas karna aku khawatir sama kamu, dan kebetulan kita udah lama banget nggak ketemu. Mama nelfon aku tadi pagi."
                Lena tersenyum kecil kemudian bertanya lagi, “Aries nggak kesini, ya?”
                “Kalau kamu ngelakuin hal ini demi menarik perhatian Aries supaya dia dateng kesini, aku harus bilang kalau usaha kamu gagal total. Sorry to say but dia nggak pernah perduli sama kamu, Lena.”
                “Justru aku takut kalau dia kesini,”
                “Takut? Takut kenapa?”
                “Aku takut nanti aku nangis dan makin nggak bisa ngelepas dia. Dan aku takut... Aku takut dia akan mukulin kamu. Kamu tau kan, dia cemburu banget sama kamu? Padahal kita nggak pernah kontak sedikitpun waktu aku pacaran sama dia,”
                “Orang yang selingkuh akan selalu mencari sesuatu untuk di kambing hitamkan.”
                “Kenapa ya, dia benci sama kamu?”
                “Well, jealousy? Jelas bukan. Kamu tau kan, dia itu orang asing, orang baru. Dia nggak pernah ada di lingkungan kita dari pertama kali kita kenal. Jelas dia akan merasa bingung ketika melihat foto kita berdua banyak di handphone kamu, meskipun kita nggak pernah kontak. Mau dijelaskan sedetail apapun, dia nggak akan segampang itu percaya. Mungkin menurut kita, kedekatan kita biasa aja. Ya karena kita yang ngalamin dan itu sudut pandang kita, bukan sudut pandang orang lain. Aku tau rasanya gimana seandainya aku ada di posisi dia, dan aku pasti akan mempertanyakan banyak hal. Makanya aku nggak pernah coba hubungin kamu. Aku lihat kamu bahagia banget sama dia, dan aku nggak ingin merusak kebahagiaan kamu itu. Yang penting kamu bahagia, hanya itu. Karna aku pasti secara otomatis akan ikut bahagia.”
                Lena menatap Rian dalam-dalam, tak mampu mendefinisikan maksud Rian berbicara seperti itu. “Aku? Bahagia? Not a day goes by that I’m not thinking about you, Yan. I really wanna share my happiness with you, but you weren’t there. Dan lama kelamaan, ketidak hadiran kamu membuat aku sadar kalau dia beda sama kamu. Dan aku mulai mebanding-bandingkan dia sama kamu. Ya, aku yang salah.”
                “Dia juga salah. Kenapa dia harus selingkuh? Kenapa dia harus ninggalin kamu dengan cara paling pengecut seperti ini? He’s not good enough, intinya itu. Bilangnya cinta, tapi belum ada dua minggu putus sama kamu, dia sudah punya pacar baru.”
                Rian menggelengkan kepalanya dan raut wajahnya berubah perlahan menjadi raut wajah yang sedang menahan emosi yang siap meledak di atas kepala. Lena segera bangkit dari tidurnya dan memeluk Rian. Rian terkejut namun perlahan hanyut dalam pelukan itu, pelukan yang sangat dirindukannya.
                “I’m glad you’re here. I’m glad to know that it’s always been you, who understands me like we’ve known each other for a life time.”
                Jika tugasku dalam hidup yang diberikan Tuhan ini untuk membuat kamu bahagia, maka aku nggak akan pernah mau pensiun dari tugasku ini, ujar Rian dalam hati.
                “Sekarang aku tau arti kehadiran Aries kemarin. Sekarang aku tau kenapa kita lebih baik seperti ini, karena semua orang yang pacaran kemudian pisah, nggak pernah bisa berhubungan dengan baik seperti sedia kala. Kamu benar, Yan.” tambah Lena sambil melepaskan pelukannya dan tersenyum ke arah Rian.

                Rian membisu begitu mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Lena. Ia berharap ia bisa kembali ke hari dimana ia mengatakan hal itu kepada Lena dan menarik ucapannya itu...